Memasukkan Manajemen Publik ke Dalam Administrasi Negara

Posted: December 24, 2010 in Artikel

Tidak banyak pejabat Indonesia menulis mémoire professionelle. Dalam sejarah kepejabatan Indonesia tidak banyak kita temukan dokumen penyerahan jabatan yang ditulis sebegitu rupa sehingga terbuka untuk dipakai demi berbagai keperluan. Kita punya beberapa peninggalan seperti yang ditulis oleh Achmad Djajadiningrat meski itu lebih dalam bentuk otobiografi.

Ada puluhan atau bahkan ratusan memorie van overgave yang ditulis pejabat-pejabat Belanda di Pulau Jawa. Namun, semua itu begitu sering dipakai oleh para peneliti pada umumnya sehingga sudah sangat terkenal. Karena itu, memorie van overgave dari Nusa Tenggara Timur yang sama sekali tidak dikenal dalam dunia penelitian Indonesia modern, sejauh penulis tahu, meski sangat terkenal bagi para peneliti asing, perlu dikemukakan di sini.

Memorie van overgave—nota serah-terima jabatan tersebut—ditulis oleh J J de Vries, 1910, ”Residentie Timor en Onderhoorigheden, onderafdeling Ende: Nota van Bestuursovergave, Ende”. Dia seorang pejabat rendah; dalam nomenklatur kepejabatan Belanda disebut sebagai ”gezaghebber”, harfiah adalah penguasa, setingkat kecamatan, dalam lidah lokal disebut sebagai ”toea berhebe”. Ketika membaca Nota van Bestuursovergave tersebut, yang diketik di atas kertas superfolio kira-kira 200-an halaman, kita dibawa ke sejarah Flores, khususnya wilayah Ende; dan yang paling memukau adalah antropologi Flores yang begitu rinci, sampai kita pun tercengang karena sedang menghadapi suatu dunia dan waktu yang hilang, le temps perdu.

Menemukan kembali pemerintah daerah

Dengan pembukaan yang agak panjang di atas, kita tiba pada buku yang kini berada di depan para pembaca Reinventing Local Government, Pengalaman dari Daerah, yang ditulis oleh Dr Ir Fadel Mohammad, Gubernur Gorontalo, provinsi pecahan dari Provinsi Sulawesi Utara. Buku ini boleh dibilang semacam memoire professionelle tingkat tinggi, bukan saja karena berasal dari disertasi doktor, melainkan metode penulisannya lebih dimaksudkan bagi sesama kalangan akademisi dan cendekiawan. Buku yang menyandang judul Inggris ini sebenarnya dalam bahasa Indonesia. Untuk menarik garis paralel dengan pengantar di atas inilah buku yang unik. Ini berasal dari disertasi yang ditulis untuk Universitas Gadjah Mada, yang ditulis kembali menjadi buku untuk umum dengan wilayah pemerintahan sendiri sebagai wilayah penelitian.

Dalam arti tertentu, buku tersebut membuka sejarah baru dalam pentas sejarah Indonesia meski bukan sama sekali baru. Herbert Feith bekerja sebagai relawan, volunter, di Kementerian Penerangan Indonesia pada tahun 1950-an. Bahan-bahan yang diperoleh pada saat bekerja itulah yang dipakai sebagai bahan disertasi untuk Universitas Cornell, New York, yang kelak menjadi buku klasik politik dan sejarah Indonesia, the Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Namun, kebaruan tidak semata-mata dari sejarah asal-muasal. Ada satu yang jauh lebih substantif di sana adalah suatu obsesi yang kelak diubah menjadi pendekatan, dan karena itu pula menjadi bahan rencana pembangunan suatu provinsi. Karena itu, buku ini menjadi gabungan tiga hal, yakni pertama obsesi psikologis Indonesia Timur yang jauh-jauh dari kemakmuran, kedua pendekatan keilmuan administrasi, dan ketiga rencana birokratik.

Karena itu, tinjauan ini akan memulai dengan yang pertama, yaitu obsesi. Obsesi ini terutama karena menyaksikan kekayaan yang begitu luar biasa Indonesia Timur dengan basis kekayaan maritim. Namun, semuanya tidak dapat mentransformasikan Indonesia Timur menjadi bagian yang makmur dari negeri ini. Kehidupan menjadi involutif dalam arti sesungguhnya, yaitu kehidupan tidak berkembang, tetapi mengerut ke dalam.
Kedua, suatu scientific approach to public administration. Administrasi negara berawal dari sesuatu yang semata-mana teknis, yaitu demi efisiensi dan efektivitas, bagaimana bekerja dengan ongkos seminim mungkin, dan mencapai tujuan semaksimal mungkin. Kemudian lebih diarahkan kepada human resource development, yang dalam administrasi negara tua secara samar-samar disebut sebagai human relations. Namun, kini pendekatan itu bergeser lagi ke dalam apa yang disebut sebagai New Public Management, dengan bureaucratic initialese, NPM.

Inti dari perkembangan baru dalam administrasi negara ini adalah bagaimana membawa semua paradigma bisnis ke dalam administrasi negara. Pertanyaan paling utama di sana adalah bagaimana mengelola administrasi pemerintahan yang lamban, lesu darah, dan tidak bergairah menjadi suatu lembaga yang hidup, bervisi, dan juga bermisi dan karena itu berencana dan merencanakan bukan hidupnya sendiri, tetapi masyarakat yang dipimpinnya (hal 3-34). Dengan begitu, paradigma public service harus dibalikkan menjadi public partners, mitra dalam bekerja, yang hanya dibedakan dalam fungsi.

Ketiga adalah transformasi pendekatan ilmiah di atas menjadi rencana dan metode kerja. Dalam hubungan ini seluruh sistem administrasi pemerintahan diubah menjadi sesuatu yang mirip-mirip organisasi perusahaan dengan mengubah nomenklatur, di mana gubernur lebih dipandang dan berfungsi sebagai chief executive officer, CEO, badan keuangan daerah menjadi chief financial officer, CFO, dan sekretaris daerah menjadi chief operating officer, COO, dan kepala-kepala biro menjadi division head, kepala divisi (hal 71).

 

write by : FAJAR INDRA RUKMANA  F1B008020

sumber : KOMPAS, Senin 4 Agustus 2008

Leave a comment